Puisi : Nyanyian Rumput Liar

 

Oleh : Maria Wona

Pada suatu masa yang merotasi
Menukik hingga di pelukan pertiwi
Melukis rasa dengan pena nurani
Di atas laman puisi penuh misteri

Diatas gundukan aku menjajaki
Setiap ruas jalan setapak berduri
Kutemui rumput liar bernyanyi
Mendendangkan lirik puisi onani

Rumput-rumput liar tetap bernyanyi
Meski ia hidup di belantara sunyi
Mendekam pada damai yang ironi
Sampai hujan datang menghampiri

Angin berhembus menuai janji
Mengantar surgawi di atas pertiwi
Pun senja yang setia pada hari
Menaruh harap antara hidup dan mati

Lalu aku berbalik ke arah utara
Menilik beberapa jiwa yang dahaga
Pada inspirasi yang selalu menyita
Dalam waktu memungut aspirasi nyata

Aku tergilas paparan cahaya senja
Rumput liar terus menari-nari ria
Seakan terus suka merayakan luka
Setelah ia benar-benar merdeka

Lalu suara-suara semakin lantang bernyala
Mengisyarat bahwa siap berkelana
Menyampaikan pesan kepada raga
Melintasi pojok mata yang terbuka

Lalu memasuki kalbu yang selalu suka
Pada apa dan siapa yang datang padanya
Karena yang pantas adalah sebuah cita
Untuk menuai cinta diantara para pengelana

Setelah bedebah sibuk beronani mesra
Bukan karena rasa cinta dijadikan belaka
Tak ada yang indah selain indahnya surga
Menjaga dalam suci yang meluluhlantakkan jiwa

Lagi-lagi rumput liar itu bercerita
Bukan karena suka atas kisah nyata
Namun luka yang membuatnya menganga
Membuka agar sakit kian hari terasa

Dari atas meja penguasa dan bar-barnya
Tertumpuk cerita-cerita pilu yang lara
Dikubur waktu yang menjadikannya tiada
Namun ia seakan-akan mengejar masa

Aku terus mendengarkan nyanyiannya
Kakiku gemetar karena syahdunya sajak dan rima
Seakan-akan ingin ikut menari bersama
Menuai sajak pemberontakan atas ironi semata

Rumput-rumput liar terus melelagu asa
Di setiap batang kusut lunglai sebelum patah
Pada arah di atas tanah yang tak basah
Pun kisah dibawa sampai malam menjemput senja

Aku menggores dengan tinta cinta
Mengusur ragu dalam sejarah
Menyapa lupa yang gagal paham
Menyambung retorika yang runtuh

Dari hati bukan logika
Dari mata juga telinga
Dari kaki bukan pantat
Dari nyata bukan belaka.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *