Klivetvindonesia.com, Jakarta – Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI, Sukamta angkat bicara soal Pelaporan Mantan Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) atas dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku dengan tuduhan radikalisme.
Sukamta melihat persoalan ini bukan sebuah kejadian yang berdiri sendiri. Ini merupakan cermin bobroknya moral sebagian elit dan tokoh yang ditunjukkan dengan lebih mengedepankan sikap permusuhan dibandingkan dialog.
“Sedikit-sedikit sekarang melaporkan dengan tuduhan intoleran dan radikal, ini sesungguhnya mereka yang melaporkan ini menunjuk muka mereka sendiri sebagai orang intoleran dan suka menebar kebencian,” ujar Sukamta kepada wartawan, Sabtu (13/2).
Menurutnya, dalam persoalan ini akan semakin mempertajam pembelahan di tengah masyarakat yang selama ini sudah terjadi. Sikap elit dan tokoh yang seperti ini akan mendorong narasi kebencian meluas ke masyarakat dan kondisi seperti ini sangat berbahaya bagi masa depan Indonesia.
“Mestinya saat ini elit dan tokoh berikan contoh dengan kedepankan dialog, bukan permusuhan,” pungkasnya.
Lebih lanjut Sukamta menyebutkan apabila sejumlah pihak melaporkan Pak Din Syamsudin ini dilatarbelakangi tujuan membungkam kelompok kritis, maka ini salah besar dan akan jadi blunder atas pernyataan Presiden Jokowi yang minta masyarakat untuk kritis.
“Pak Din itu selama ini dikenal sebagai tokoh yang mengedepankan dialog dan mendorong moderasi. Tuduhan radikal ini kan asal banget, sangat mungkin ada pesanan terkait kejadian ini,” jelasnya Wakil Ketua Fraksi PKS itu.
Menurutnya, ini sebuah bukti otentik bahwa tuduhan radikal itu absurd. Beruntung dalam hal ini tidak sedikit tokoh seperti Ormas, Muhammadiyah dan NU yang memberi kesaksian bahwa Din Syamsuddin adalah tokoh moderat, bukan radikal.
Disisi lain Sukamta menilai Peraturan Presiden No. 7 tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (Perpres RAN PE) yang belum lama ini dikeluarkan pemerintah akan rawan disalahgunakan oleh elit dan tokoh yang punya watak permusuhan. Mengingat di dalam Perpres tersebut disebutkan adanya pelatihan pemolisian masyarakat.
“Ini yang sejak awal saya kritisi, jangan sampai masyarakat didorong untuk merespon peristiwa dengan sedikit-sedikit memunculkan prasangka negatif, apalagi definisi ekstemisme atau radikalisme bisa subjektif. Sementara orang yang mendapat tuduhan seperti itu akan rusak nama baiknya karena terlanjur tersebar luas pemberitaannya melalui media massa dan media sosial. Yang seperti ini bisa mengarah kepada pembunuhan karakter, ini tentu akan membahayakan demokrasi,” sambungnya.
Angggota DPR RI asal Yogyakarta ini juga berharap Pemerintah harus ikut turun tangan untuk mendorong dialog antar elit dan tokoh.
“Saya kira ini yang terasa kering sejak Pemilu 2014, tidak ada dialog antar elit dan tokoh, di pusat maupun daerah. Api permusuhan seakan dibiarkan tetap menyala antar pihak pro dan kontra. Yang demikian ini jika dibiarkan akan merusak sendi-sendi kerukunan Bangsa dan Bhineka Tunggal Ika. Oleh sebab itu pemerintah harus bisa hadir di tengah semua pihak,” tutupnya.
Diketahui, Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin telah dilaporkan oleh Gerakan Anti Radikalisme (GAR) alumni Institusi Teknologi Bandung (ITB) ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) atas dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku dan prilaku terkait radikalisme.
Sebelumnya, Din Syamsuddin dilaporkan lewat surat terbuka nomor 10/Srt/GAR-ITB/I/2021 yang diklaim diteken 1.977 alumni ITB lintas angkatan dan jurusan tertanggal 28 Oktober 2020 lalu. Aduan tersebut dilayangkan ke Badan Kepegawian Negara (BKN) dan KASN lantaran Din masih tercatat sebagai ASN dengan jabatan dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Laporan : Aldi Rinaldi