KLivetvIndonesia.com,PADANGDELI-SUMUT- Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) jadi pilihan para pendahulu. Pasca Agresi Belanda kedua sekitar tahun 1949 Indonesia yang oleh Kolonial disebut sebagai negara baru diserahi Beauslit no. 1 tahun 1870 terkait sertifikat kepemilikan tanah di Pulau Jawa dan sekitarnya kecuali Jogjakarta dan Pakualaman. Komitmen ber NKRI juga ditunjukkan 279 Kerajaan/Kesultanan/Kedatuan dan 500 Suku Marga. Namun dalam perjalanan, terbentuknya NKRI malah terkesan mengabaikan komitmen.
Ketua Umum Lembaga Komunikasi Pemangku Adat Seluruh Indonesia (LK-PASI), Datuq Juanda Datuq Bentara, menjelaskan berdasarkan data sejarah, masyarakat adat di indonesia dapat di bagi menjadi dua (2) kelompok. Pertama masyarakat adat yang berinduk kepada suku marga dan kedua masyarakat adat yang berinduk kepada Kerajaan/Kesultanan/Kedatuan. “Masyarakat adat yang berinduk kepada Suku Marga ditemukan misalnya di Minangkabau, Tapanuli, Bengkulu, Lampung, Palembang, Jambi, dan Kalimantan Tengah. Sedangkan masyarakat adat yang berinduk kepada Kesultanan, kerajaan dapat kita temukan di Aceh, Sumatera Timur, Riau, Kaltim, Kalbar, Sulawesi, Maluku, Nusatenggara, dan Pulau Jawa,” kata Datuq Juanda, sapaan akrabnya.
Ketua LK-PASI yang dideklarasikan pembentukkannya 23 Februari 2020 menambahkan pada zaman kolonial Belanda, baik masyarakat adat yang berinduk kepada Suku Marga maupun yang berInduk kepada Kerajaan/Kesultanan/Kedatuan menerima ADAT INKOMST atau menerima pemasukan adat dari Pemerintah Belanda.
Dia menjelaskan Adat Inkomst berupa Heffingen (Cukai), Schadeloosteling (kompensasi tetap), Presen tanah (Hasil tanah ), Sewa Bumi, Sewa Hutan, Sewa Tambang, Pancung Alas, Sewa Sungai. “Adat Inkomst ini diberikan Pemerintah Belanda kepada Suku Marga dan Kerajaan/ Kesultanan /Kedatuan sebagai pengakuan bahwa Suku Marga dan Kerajaan/Kesultanan/ Kedatuan tersebut adalah pemilik tanah tanah adat yang dipakai pemerintah maupun swasta untuk pemukiman, perkantoran , perkebunan, dan pertambangan,” kata Pria asal Pulau Sumatera yang cukup lama mendalami persoalan tanah adat dan ulayat di Indonesia ini.
Dia mengungkapkan ada 279 Kerajaan /kesulthanan /kedatukan dan lebih dari 500 Suku Marga di Indonesia sebagai induk masyaralat adat diwilayahnya masing masing yang menerima Adat Inkomst ini dari Pemerintah saat itu. “Namun setelah Promlamasi kemerdekaan dan berdirinya NKRI, justru Adat Inkomst ini tidak pernah lagi diterima masyarakat adat di seluruh Indonesia,” kata Datuq Juanda.
Bahkan, sambungnya, secara bertahap wilayah kerajaan kerajaan/Kesultanan/Kedatuan yang berstatus Zelfbestuur/Swapraja dihapuskan, kewenangan politik dan agama yang sebelumnya dimiliki kerajaan tersebut diambil alih pemerintah republik sehingga yang tersisa hanyalah kewenangan adat saja, demikian juga dengan nasib Pemerintahan Suku Marga. “Hal ini jadi luar biasa karena kolonial Belanda sendiri selama berkuasa ratusan tahun di Indonesia tidak mampu menghapuskan Kerajaan di Indonesia, namun ternyata Republik (NKRI-red) hanya dalam waktu beberapa tahun saja mampu melakukannya. Padahal Kerajaan/Kesultanan/Kedatuan dan Suku Marga tersebut punya kontribusi besar dalam mendirikan Republik Indonesia,” kata pria asal Sumatera Utara ini saat dihubungi KLTV.com.
Dan yang lebih hebat lagi, tambah Datuq Juanda, seluruh tanah adat aset Kerajaan /Kesultanan/ Kedatuan dan suku marga tersebut yang pernah disewakan kepada pihak swasta untuk keperluan perkebunan, pertambangan, pemukiman, stasiun kereta api, dan perkantoran, dengan seenaknya diambil alih Pemerintah Republik tanpa kompensasi apapun bahkan mengalihkannya kepihak ketiga tanpa memperhatikan pemilik sebelumnya seolah olah tanah tanah tersebut adalah tanah tak bertuan.”Padahal sesuai Konstitusi , Negara mengakui kesatuan masyarakat adat beserta Hak hak tradisionalnya sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 pasal 18B ayat 2 yang berbunyi Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang,” jelasnya.
Akibatnya, kata Datuq Juanda, saat ini masyarakat adat Kerajaan/Kesultanan/Kedatuan dan Suku Marga di seluruh Indonesia lumpuh tak berdaya karena tanah yang telah menghidupi masyarakat adat tesebut selama ratusan tahun kini tidak lagi dimilikinya. “Namun setelah puluhan tahun diabaikan, harapan terhadap penyelesaian masalah ini muncul ketika terlaksananya pertemuan bersejarah antara Raja Sulthan se Indonesia dgn Presiden Republik Indonesia pada 4 Januari 2018 di Istana Bogor,” sambungnya dengan nada optimis.
Dalam pertemuan tersebut, lanjutnya, Presiden menyampaikan empat (4) komitmen kepada Raja Sultan tentang kompensasi terhadap asset-aset kerajaan yang dikuasai negara, sertifikasi tanah adat, revitalisasi keraton dan optimalisasi lahan lahan tidur aset Kerajaan/kesultanan/Kedatuan. “Sampai saat ini tahun 2020, realisasi dari komitmen Presiden tersebut masih terus dinantikan,” kata Datuq Juanda menutup pembicaraannya Senin (2/11/2020). (ami)