TAKALAR – KLTV INDONESIA
–klivetvindonesia.com–
— Di balik ketenangan perkampungan La’nyara (Bonto kadieng), Desa Moncongkomba, Kecamatan Polongbangkeng Selatan, Kabupaten Takalar, tersimpan jejak seorang tokoh pejuang yang kiprahnya layak dikenang dalam lembar sejarah perjuangan Republik Indonesia. Ia adalah Imandasaa Daeng Ngola bin Tambaga Daeng Mattiro, atau lebih dikenal masyarakat dengan sebutan Guru Mandassa — figur pejuang lokal yang dikenal karena keberanian, kebijaksanaan, dan kecintaannya pada tanah air.
Imandasaa lahir dari keluarga sederhana namun sarat nilai keberanian. Ayahandanya, Tambaga Daeng Mattiro, merupakan seorang lelaki tangguh dan disegani yang berasal dari Gowa. Dikenal karena keberaniannya dan kepedulian sosialnya, Tambaga merantau ke wilayah selatan dan menjalin hubungan erat dengan masyarakat Desa Moncongkomba kampung La’nyara (Bontokadieng).
Pada masa itu, Dusun La’nyara (Bontokadieng) dikenal sebagai kampung yang dihuni oleh orang-orang tangguh, berada di bawah kepemimpinan adat Lima Bersaudara, yakni:
1. Tompa’
2. Manda
3. Manrenge
4.Tuto’
5. Pukka
Dan salah satunya tokoh adat karismatik bernama Tompa’. Nilai-nilai kepahlawanan dan kekompakan sangat dijunjung tinggi, sehingga kehadiran Tambaga dari Gowa disambut hangat karena karakter dan wataknya sejalan dengan masyarakat lokal.
Tambaga Daeng Mattiro kemudian menetap dan membangun keluarga besar di kampung ini. Dari pernikahannya, lahirlah 6 anak laki-laki dan 1 anak perempuan yang kelak dikenal sebagai keturunan yang berpengaruh:
1. Imandasaa Daeng Ngola (Guru Mandassa)
2. Bodo (Daeng Tubodo atau Bapak Dande’)
3. Rote (Daeng Turote)
4. Pito
5. Taka
6. Dakko
7. Caning
Di antara 7 bersaudara, nama Imandasaa Daeng Ngola menjulang tinggi. Ia tidak hanya dikenal sebagai sosok bijak dan religius, tetapi juga sebagai seorang pejuang yang berani mengangkat senjata melawan penjajahan. Semasa perjuangan mempertahankan kemerdekaan, Imandasaa aktif terlibat dalam gerakan rakyat, memberikan semangat juang, serta menggerakkan komunitas lokal untuk mempertahankan republik yang baru berdiri.
Sifat kepemimpinannya yang adil dan kepiawaiannya dalam mengambil keputusan strategis menjadikannya tokoh panutan masyarakat. Keberaniannya melawan ketidakadilan serta dedikasinya dalam membina generasi muda sebagai guru dan pengajar (Ilmu Silat/Manca’) membuatnya dijuluki “Guru Mandassa” oleh masyarakat La’nyara (Bontokadieng) dan sekitarnya.
Adik-adiknya — Rote, Bodo, Pito, dan Cakka — turut mewarisi semangat yang sama. Mereka berperan dalam menjaga stabilitas kampung dan menjadi penggerak dalam musyawarah adat serta keamanan masyarakat. Khususnya Rote dan Bodo, dikenal sebagai tokoh adat yang pandai berunding, sedangkan Cakka dan Pito dikenal karena sikap tegas dan peran aktif mereka dalam struktur sosial kampung.
Kisah Tambaga Daeng Mattiro dan Tompa’ tidak berhenti pada generasi mereka. Demi menjaga tali persaudaraan dan persahabatan antara dua keluarga besar ini — Tambaga dan Tompa’ — maka dilangsungkanlah pernikahan cucu-cucu mereka. Salah satunya adalah Bati’ binti Pito bin Tambaga Daeng Mattiro yang dinikahkan dengan Matta bin Angge’ (Angge Muning) bin Tompa’. Hubungan pernikahan ini menjadi simbol eratnya ikatan dua trah pemberani, yang terus berlanjut hingga generasi hari ini.
Imandasaa Daeng Ngola wafat di usia senja dan dimakamkan di Taman Pemakaman Pahlawan Panaikang – Makassar dan beberapa saudara nya di makam Pahlawan Polongbangkeng Takalar— sebuah tempat yang menyimpan nama-nama pejuang dan tokoh besar dari Sulawesi Selatan. Kepergiannya menjadi kehilangan besar, namun semangatnya terus hidup dalam ingatan masyarakat dan cerita-cerita lisan yang diwariskan secara turun-temurun.
Kini, meski zaman telah berubah, semangat juang dan nilai-nilai luhur yang ditinggalkan oleh Imandasaa Daeng Ngola tetap menjadi inspirasi. Generasi muda keturunan Tambaga Daeng Mattiro didorong untuk terus meneladani warisan nilai-nilai luhur itu: keberanian, pengabdian, dan kecintaan terhadap kampung halaman serta bangsa Indonesia.