klivetvindonesia.com, KALBAR- Provinsi Kapuas Raya yang sudah lama di dengungkan bakal jadi Daerah Otonomi Baru masaih saja menui batu sandungan. Masalah batas antar kabupaten tak kunjung diselesaikan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. Mestinya hal ini harus segera dituntaskan agar tidak menjadi alasan terhambatnya pembentukkan Provinsi Kapuas Raya. Bahkan masalah batas seperti di Sunsong dan Bungkong antara Kabupaten dan Sekadau kerap menambah beban biaya dan selalu saja ada upaya khusus bagaimana agar hak pilih warga terjadi secara konstitusi.
Koordinator para advokat Kapuas Raya (Pakar), Yaswin SH, mengingatkan agar sengketa wilayah antar Kabupaten Sintang dengan Kapuas Hulu dan Kabupaten Sintang dengan Kabupaten Sekadau segera dituntaskan. “Jika tak segera dituntaskan jangan sampai jadi alasan Pemerintah Pusat mengulur-ulur waktu Penetapan Daerah Otonom Baru (DOB) Persiapan Provinsi Kapuas Raya,” tegasnya.
Menurut Yaswin Gubernur dan Kakanwil BPN Kalbar harus segera turun tangan menyelesaikan sengketa tapal batas dibeberapa desa di Kecamatan Kayan Hilir Kabupaten Sintang dengan Kecamatan Silat Hilir Kapuas hulu serta sejumlah desa di Kecamatan Sepauk Kabupaten Sintang dengan desa tertentu di Kecamatan Sekadau Hulu. “Terjadi kasus, ketika pembangunan masuk, maka warga setempat saling mengklaim wilayah desanya,” kata Yaswin, Senin (14/12).
Dari sisi kepemilikan hak atas tanah, lanjut Yaswin, sebenarnya tidak ada persoalan misalnya jika warga Sekadau memiliki sertifikat tanah yang penerbitannya di Kantor Pertanahan Sintang atau sebaliknya, termasuk terhadap tanah di Kabupaten Kapuas Hulu ngurus sertifikat tanahnya di Kantor Pertanahan Sintang. “Belum fahamnya proses pengurusan hak atas tanah warga ini menimbulkan sengketa yang sempat tercium Pemerintah Pusat,” ungkapnya.
Untuk itu, sambungnya, jangan sampai sengketa tersebut mengakibatkan molornya penerbitan Kepres Persiapan Provinsi Kapuas Raya. “Untuk itu, Gubernur harus segera menuntaskan sengketa tersebut. Kalau tiga Bupati mau menyatakan ada warga masing-masing yang mengakui wilayahnya dimanfaatkan untuk kegiatan Pembangunan dari luar kabupaten, maka Gubernurlah yang menengahi,” kata dia sembari mengatakan hal itu terjadi karena secara fisik belum seluruh tapal batas dilakukan pematokan yang jelas terutama dibagian pedalamannya.
Advokad ini juga mengatakan para Kepala Kantor Pertanahan di tiga kabupaten dan Kakanwil BPN Kalbar ini juga harus ikut berperan. “Sekarang ini program PTSL kan semakin mudah memastikan letak tepat dan batas tanah. Masalahnya sekarang ini dengan banyaknya perkebunan kelapa sawit, luas tanah dalam HGU sering menjadi persoalan. Yang tahu persis jika terjadi sengketa antar Kabupaten, maka tugas Gubernur yang berkompeten karena tahap awal pemberian informasi lahan antar Kabupaten adalah menjadi wewenang dan pemberian perizinan oleh Gubernur,” bebernya pada klivetvindonesia.com.
Untuk sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) maupun sertifikat perorangan, tambah Yaswin, seharusnya Pertanahan dapat membantu menyelesaikannya secara teknis karena urusan tata ruang sekarang menjadi kewenangan BPN. “Maka harus sinergi dengan Pemda agar tidak menghambat pemekaran Provinsi,” tegasnya menutup pembicaraan.
Sementara itu mantan Ketua KPU Sintang periode 2008-2013, Ade Muhammad Iswadi, juga mengungkapkan persoalan batas wilayah juga kerap jadi masalah dan dikerjakan secara khusus berkaitan dengan data pemilih. Seperti terjadi antara Sunsong dan Bungkong antara Kecamatan Sekadau Hulu Kabupaten Sekadau dengan Kecamatan Sepauk Kabupaten Sintang. “Intinya bagamana mekanisme pendataannya agar semua warga yang memiliki hak memilih dapat terdata semua dan terjaga hak konstitusinya untuk memilih,” kata Ami, sapaan akrab komisioner dua periode 2008-2018 yang juga sempat menjadi koordinator wilayah Sepauk dan Tempunak ini.
Untuk mengatasi persoalan data pemilih, lanjut Ami menceritakan pengalamannya, tentu saja akan melibat beberapa pihak seperti KPU, Bawaslu, penyelenggara tingkat kecamatan (PPK) sampai ke desa (PPS) dan TPS. Pihak kepolisian dan TNI juga memiliki kepedulian terhadap masalah ini. “Tapi memang, pendataan ini selalu saja berulang tiap kali ada pemilihan, praktis saja perlu biaya tambahan. Persoalan ini sudah berlarut-larut dibiarkan sepertinya, karena saya pernah diberikan data oleh masyarakat yang juga mengatakan masalah ini sudah terjadi sejak tahun 1971,” beber Ami menutup pembicaraan. (alfin/WE*)